BALI – Berakhir sudah pelarian Ni Wayan Sri Candra Yasa. Perempuan 48 tahun itu dijemput paksa oleh Tim Tangkap Buron (Tabur) Kejaksaan Tinggi (Kejati) Bali, di wilayah Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB), Selasa (9/7/2024).
Sri ditangkap lantaran diduga terlibat korupsi dana Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM) Perdesaan dan atau Dana Amanah Pemberdayaan Masyarakat Swadana Harta Lestari, Kediri, Tabanan.
”Tim Tabur Kejati Bali bersama Kejari Tabanan, dibantu Tim Tabur Kejati NTB mengamankan saudari NWSCY di Mataram, NTB, terkait pengelolaan dana PNPM Mandiri Pedesaan Tahun Anggaran 2017 sampai 2020,” ungkap Kasi Penerangan Hukum (Penkum) Kejati Bali, Putu Agus Eka Sabana Putra bersama Kepala Kejari Tabanan, Zainur Arifin Syah dalam pers rilis di Kejati Bali, kemarin (10/7/2024) sebagaimana dikutip radarbali.id.
Dijelaskan lebih lanjut, setelah dibekuk, Sri dibawa ke Bali melalui perjalanan darat. Penjemputan paksa dilakukan setelah wanita itu tiga kali mangkir dari panggilan pemeriksaan penyidik Kejaksaan Negeri (Kejari) Tabanan. Panggilan terakhir dilakukan 22 Mei 2024. Sri selama menjalani masa pelarian tergolong licin. Ia sengaja mengubah kartu identitasnya. Tidak hanya nama, tanggal lahir, dan tempat lahir yang diubah, Sri juga menghilangkan tanda lahir berupa tahi lalat di wajahnya. Itu semua untuk menghindari dan mengelabuhi petugas.
Sementara itu, Kajari Tabanan Zainur Arifin Syah menjelaskan, Sri diduga terlibat melakukan tindak pidana korupsi dengan modus pembuatan pinjaman fiktif. Dari pinjaman fiktif ini ada pembuatan laporan-laporan fiktif dan keuntungan fiktif.
”Total data peminjam fiktif yang dibuat mencapai 104 kelompok,” jelasnya.
Perbuatan tersebut menyebabkan negara rugi sebesar Rp 5,5 miliar. Kejari Tabanan sudah melakukan penyidikan dan menetapkan empat orang tersangka. Mereka bertugas sebagai manajer, bendahara, kasir, serta koordinator kelompok. Hingga keempat orang itu disidangkan, Sri yang bertugas sebagai tim verifikator terindikasi menyalahgunakan wewenangnya.
Terungkap dalam pemeriksaan, peran Sri adalah kasus korupsi ini adalah tidak melakukan tugasnya sebagai tim verifikator untuk memverifikasi secara factual. Ia hanya menandatangani kredit-kredit fiktif yang sudah dicairkan sebelumnya. Khusus tersangka disebut melakukan perbuatan ini dari 2018 sampai 2020. Dari perbuatannya itu, Sri mendapat keuntungan pribadi. Namun, jumlah secara pasti belum bisa disampaikan.
”Yang jelas kasus korupsi ini sudah merugikan negara sebanyak Rp 5,5 miliar, yang sudah bisa kami selamatkan baru Rp 3,1 miliar. Keberadaan sisa dana, apakah dibawa oleh tersangka atau tidak itu masih kami dalami, saat pengamanan kami hanya sita barang bukti KTP dari tersangka,” bebernya.
Kejari Tabanan sejatinya sudah beberapa kali memanggil Sri sebagai saksi, tapi ia tidak datang. Hingga akhirnya Sri dijemput di daerah Cakra, Mataram, NTB.
”Kebetulan di sana ada rumah keluarganya,” jelasnya.
Sri saat ditangkap kartu identitasnya sudah ganti baru. Ia mengubah namanya Candra menjadi Candri. Tempat lahirnya dari aslinya Negara, Jembrana, menjadi Mataram.
”Tanda lahir di wajah tahi lalat juga sudah hilang,” tukasnya.
Setelah sampai di Bali, Sri ditahan di Lapas Kerobokan. Terkait motif Sri mengubah identitasnya, dan kemungkinan kartu identitas yang dipakai palsu, Zainur belum bisa memastikan. Pihaknya masih fokus terhadap kasus korupsi. Sri terancam pidana penjara 20 tahun. Ini setelah jaksa memasang Pasal 2 ayat (1), Pasal 3, Pasal 8 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP, juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. []
Nur Quratul Nabila A