JAKARTA – Target Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk menghilangkan kemiskinan ekstrem di Indonesia berpotensi sulit tercapai. Dipengaruhi oleh maraknya pemutusan hubungan kerja (PHK) beberapa waktu terakhir, serta terus melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat. Hal ini diungkapkan Ekonom senior yang juga merupakan mantan Menteri Keuangan 2014-2016, Bambang Brodjonegoro. Menurutnya dua faktor itu tentu akan menghambat penurunan tingkat kemiskinan ekstrem ke depan karena sumber pendapatan masyarakat banyak yang hilang.
“Karena mengingat pemerintahan Pak Jokowi yang kedua ini menargetkan di tahun 2024 harusnya kemiskinan ekstrim sudah nol, tapi tampaknya hal ini akan sulit dicapai,” kata Bambang dalam program Power Lunch CNBC Indonesia, dikutip Kamis (4/7/2024).
Bambang mengatakan, permasalahan PHK menjadi PR besar di masa terakhir pemerintahan Presiden Jokowi, karena terjadi di sektor industri padat karya yang berarti banyak memanfaatkan tenaga kerja. Di antaranya ialah industri tekstil dan produk dari tekstil (TPT).
Mengutip Satu Data Kementerian Ketenagakerjaan, pada periode Januari-Mei 2024, memang terdapat 27.222 orang tenaga kerja di Indonesia yang telah terdampak PHK. Dibanding periode yang sama tahun lalu, jumlah korban PHK meningkat 48,48%. Sebab, pada catatan Januari-Mei 2023 jumlah tenaga kerja yang ter PHK 18.333 orang. Sayangnya, data pemerintah itu tak menggambarkan sektor mana yang paling banyak terjadi PHK. Meski begitu, mengutip data Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), PHK di sektor industri TPT saja telah mencapai 10.800 tenaga kerja, per Mei 2024.
“Jadi selain pelemahan nilai tukar rupiah, dampak lain yang cukup serius adalah tingginya tingkat PHK, terutama untuk industri yang pada tahun 1990-an itu menjadi andalan dan backbone dari manufaktur Indonesia, yaitu industri tekstil yang memang sifatnya padat karya,” ucap Bambang.
Bambang berpendapat, untuk mencegah terus maraknya PHK di tengah melambatnya aktivitas ekonomi secara global. Pemerintah Indonesia harus memperbaiki regulasi proteksi iklim usaha di dalam negeri, dari gempuran barang-barang impor yang lebih murah dari negara asing.
“Kadang-kadang kalau tidak dilindungi secara benar, misalnya tidak dikenakan bea masuk tambahan atau tidak dikenakan bea masuk atau banyak juga yang dilakukan secara menyelundup, sehingga tidak terdeteksi oleh market, tapi kemudian ikut membuat harganya jatuh dan itu yang membuat pabrik-pabrik dalam negeri tidak mampu bertahan,” tegasnya.
“Jadi menurut saya kalau untuk industri tekstil ini harus dilihat lagi bagaimana regulatory framework yang berlaku untuk kondisi tekstil dan garmen saat ini,” ucap Bambang.
Sebagai informasi, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy mengumumkan angka kemiskinan ekstrem di Indonesia per Maret 2024 sebesar 0,83%. Angka ini turun 0,29% dibandingkan data per Maret 2023 yang sejumlah 1,12%.
“Kondisi kemiskinan ekstrem di Indonesia juga terus mengalami penurunan. Persentase penduduk miskin ekstrem Indonesia pada Maret 2024 sebesar 0,83%, berhasil turun 0,29% poin terhadap Maret 2023 sebesar 1,12%,” kata Muhadjir.
Sementara itu, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah penduduk miskin di Indonesia masih sebesar 9,03% dari total penduduk atau sekitar 25,22 juta orang per Maret 2024. Dari data itu, jumlah orang miskin RI turun 0,33% atau lebih rendah 0,68 juta orang dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
BPS menetapkan masyarakat yang tergolong miskin ini berdasarkan indikator garis kemiskinan. Garis Kemiskinan merupakan suatu nilai pengeluaran minimum kebutuhan makanan dan bukan makanan yang harus dipenuhi agar tidak dikategorikan miskin.
Berdasarkan definisi BPS, penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan. Garis kemiskinan per Maret 2024 sebesar Rp 582,93 ribu, naik 5,9% dibanding garis kemiskinan per Maret 2023 sebesar Rp 550,45 ribu. []
Nur Quratul Nabila A