JAWA TENGAH – Konflik tambang antara perusahaan Bahana Lintas Nusantara (BLN) grup dengan warga di Kampung Sawe Suma, Distrik Unurum Guay, Kabupaten Jayapura, Provinsi Papua masih berlanjut. Kali ini, Petrus Wekan, mantan pengacara pemilik lahan memberikan keterangan duduk perkara masalah tersebut di Papua. Petrus menyebut, permasalahan yang carut-marut ini merupakan kesalahpahaman antara kedua belah pihak.
Rencana pembukaan tambang emas itu bermula saat adanya temuan potensi emas yang diketahui oleh Marten Basaur dan Wiliam Sroyer. Kemudian mereka membutuhkan investor dan didatangkan investor dari Nusantara grup, yakni Nicholas Nyoto Prasetyo dengan penghubung Ismail Sroyer yang merupakan putra Papua. Selanjutnya mereka melakukan kontrak kesepakatan kerjasama.
“Dalam kesepakatan kerja ini, bukan Marten Basaur dan Pak Sroyer yang mendapatkan kuasanya, tapi pak Max Ohe. Karena Max Ohe merupakan wakil ketua MRP ( Majelis Rakyat Papua). Menurut pak Nicho kalau memberikan kuasa kepada individu akan riskan, apalagi (Marten) bukan orang Papua. Selain itu, Max Ohe juga punya organisasi Barisan Merah Putih (sehingga pelaksana di lapangan diberikan),” terang Petrus pada soloposjateng di Hotel Laras Asri, Kota Salatiga, Jawa Tengah (Jateng), Selasa (25/6/2024).
Dikatakan, setelah itu, ada kesepakatan kerja untuk membuka tambang emas antara Max Ohe sebagai pelaksana dan pemilik lahan Yohan Jasa. Namun konflik itu muncul setelah adanya permintaan uang masuk dan permintaan uang adat untuk permisi. Pihak Max Ohe sudah memberikan uang sebesar Rp 20 juta.
“Kemudian tidak tahu bagaimana, ada permintaan uang Rp 300 juta, setelah lahan diratakan. Sedangkan dalam perjanjian itu tidak ada,” jelas Petrus. Hal itulah yang membuat konflik ini berlarut-larut hingga warga Papua mendatangi rumah investor tambang yang berada di Salatiga untuk meminta pertanggungjawaban hutan yang telah diratakan.
Diakuinya, kedatangan dirinya langsung di Salatiga sebenarnya untuk memberikan bantuan kepada Marten Basaur. Sebab dirinya mendapatkan informasi Marten melakukan tindakan anarkis di Salatiga. Sedangkan investor tidak terlibat secara langsung di lapangan. Sehingga kedatangan Marten di Salatiga untuk menemui investor salah alamat.
“Saya mempertanyakan kepada dia (Marten), kalau kau masuk ke sana (investor) tujuanmu apa?, karena kalau kau masuk ke pak Nicho tidak ada hubungan hukumnya. Karena kerjasama itu antara Pak Max Ohe dan Yohan Jasa (pemilik lahan), sekarang Marten ini langsung ke pak Nicho potong jalur, kalau memang mau proses hukum harusnya langsung ke pak Max Ohe,” jelas dia.
Dikatakan, kuasa yang dibawa Marten adalah kuasa untuk melakukan pekerjaan pertambangan di lapangan. Bukan kuasa untuk melakukan mediasi dan perundingan. Sebab kuasa untuk tindakan dan persoalan hukum masih dipegang dirinya. Meskipun pada beberapa hari lalu telah dicabut. Diakuinya dirinya hanya ingin meluruskan permasalahan yang terjadi. Bukan membela pihak pemilik lahan ataupun perusahaan.
“Saya hanya berbicara soal faktor hukum di lapangan. Kalau memang pak Nicho terlibat dalam perjanjian ini, dari awal pasti akan laporkan ke polisi. Dari awal pak Nicho tidak terlibat di sini, tidak ada satupun kontrak atas nama pak Nicho,” tandasnya.
Sebelumnya diberitakan, konflik antara warga Kampung Sawe Suma, Distrik Unurum Guay, Kabupaten Jayapura, Provinsi Papua bermula saat Investor Tambang asal Salatiga Nicholas Nyoto Prasetyo berniat untuk investasi untuk pembukaan tambang emas. Setelah melalui serangkaian survei dan pembicaraan dengan ketua adat, pada 20 Februari 2024 terjadi kerjasama sistem bagi hasil. Namun pihak perusahaan justru membabat hutan. Selain itu, pembayaran kompensasi juga tidak dilakukan. []
Nur Quratul Nabila A