BANTEN – Dua mantan pejabat Bank Banten diadili dalam kasus korupsi Kredit Kredit Modal Kerja Kontruksi (KMKK). Kasus tersebut telah merugikan negara sebesar Rp776 juta. Hal tersebut terungkap dari surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejari Tangerang Selatan (Tangsel) yang dibacakan Satrio Aji Wibowo dan Helmi Rasyid dalam sidang di Pengadilan Tipikor Serang, Rabu kemarin. Dua mantan pejabat Bank Banten yang diadili dalam kasus korupsi tersebut yakni Rully Andriadi (mantan Account Officer Bank Banten) dan Satrio Dwiono Lutfi Handrajati (mantan Manajer Bisnis Komersial Bank Banten Cabang Tangsel). Selain Rully dan Satrio kasus itu juga menyeret pihak swasta bernama Miftahul Rizqi. Ia merupakan mantan direktur CV Mega Larsindo Utama. Dijelaskan JPU Satrio, kasus korupsi itu bermula pada tahun 2018 lalu. Ketika itu, CV Mega Larsindo Utama menjadi pemenang tender pembangunan Masjid Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kementerian Ketenegakerjaan RI dengan nilai kontak Rp1,065,299,00.
“Dalam kontrak disebutkan bahwa mengenai pembayaran, Kementerian akan membayarkan melalui Bank Bjb sebanyak tiga tahap,” katanya. Tahap pertama sambung JPU yakni pembayaran uang muka sebesar Rp213 juta kemudian termin pertama sebesar Rp340 juta dan termin kedua sebesar Rp511 juta. Pembangunan Masjid sendiri direncanakan selesai dalam 12 hari kerja atau selesai pada 14 Juni 2018.
“Saat progres pembangunan mencapai 20 persen pada 14 Maret 2018, terdakwa Miftahul membantu pemilik CV Mega Larasindo, Ariyanto (masih dalam pencarian) melakukan permohonan fasilitas Kredit Modal Kerja Kontruksi (KMKK) sebesar Rp1 miliar kepada Bank Banten. Mestinya pengajuan tersebut tidak bisa diajukan, tapi oleh terdakwa Rully dan Satrio, KMK tersebut tetap diproses,” ungkapnya yang dikutip dalam Radar banten pada Kamis (20/6/2024).
“Rully Andiriadi bersama-sama dengan Satrio Dwiono Lutfi Handrajati secara melawan hukum tetap memproses dan melakukan pemberian kredit berupa Kredit Modal Kerja Kontruksi (KMKK) kepada terdakwa selaku Direktur CV Mega Larasindo Utama,” sambungnya.
JPU Satrio menjelaskan, Miftahul mengenal kedua terdakwa melalui Ariyanto. Dalam prosesnya, Satrio dan Rully tidak pernah memastikan penyaluran tagihan termin proyek tersebut dari Kementerian kepada CV Mega Larsindo.
“Padahal, hal tersebut menyalahi SOP karena nantinya berpengaruh kepada Bank Banten yang tidak bisa melakukan auto debit,” ujarnya.
Satrio menjelaskan, pada tanggal 9 Mei 2018 komite kredit yang terdiri dari saksi Lekso, terdakwa Satrio dan Rully kemudian memberikan persetujuan KMK dengan plafon sebesar Rp550 juta dengan jangka waktu perjanjian kredit selama 5 bulan. Kemudian, dilakukan penandatanganan perjanjian kredit sampai dengan penarikan kredit.
“Terdapat persyaratan penandatanganan kredit dan persyaratan penarikan kredit yang tidak dipenuhi oleh CV Mega Larsindo Utama selaku debitur,” katanya.
Pada tanggal 14 Mei 2018 sambung JPU Satrio dilakukan pencairan tahap pertama sebesar Rp328,5 juta dan tahap kedua pada 28 Mei 2018 sebesar Rp167 juta. JPU menanggap seharusnya dana tersebut tidak dicairkan karena terdapat dokumen persyaratan yang tidak lengkap.
“Terdapat beberapa persyaratan tidak terpenuhi,” ujarnya. Satrio mengatakan, pada 21 September 2018, proyek pembangunan masjid tersebut rampung dan Kementerian Ketenagakerjaan RI membayarkan nilai kontrak tersebut seluruhnya kepada CV Mega Larsindo melalui Bank Bjb.
Uang pencairan tersebut kemudian tidak dibayarkan kepada Bank Banten dan malahan uang sebesar kurang Rp600 juta diserahkan terdakwa Miftahul kepada Ariyanto. Sedangkan sisanya Rp200 juta dipergunakan untuk membayar material dan tukang serta gaji dirinya.
“Sehingga baik terdakwa dan saudara Ariyanto tidak melakukan pembayaran Kredit Modal Kerja Kontruksi (KMKK) kepada Bank Pembangunan Daerah Banten,” katanya.
Akibat persoalan tersebut, KMKK CV Mega Larasindo dinyatakan macet dengan kolektabilitas 5. Total kewajiban yang harus dibayar dan jadi kerugian negara yaitu Rp776 juta.
“Dengan rincian tunggakan pokok Rp546 juta, tunggakan bunga Rp164 juta, dan tunggakan denda Rp65,7 juta,” tuturnya dihadapan majelis hakim yang diketuai M Arief Adikusumo. []
Nur Quratul Nabila A