JAWA TENGAH – Dinas Kesehatan (Dinkes) Provinsi Jawa Tengah (Jateng), mencatat ada sebanyak 200 kasus penyakit zoonosis leptospirosis di wilayahnya selama Januari hingga awal Mei 2024. Adapun dari ratusan kasus bakteri leptospira itu, Kota Semarang dan Kabupaten Demak menjadi daerah dengan temuan kasus paling tinggi. Berdasarkan data Dinkes Jateng, kasus tertinggi tercatat di Kabupaten Demak dengan 50 kasus, Banjarnegara 22 kasus dan Kota Semarang 19 kasus.
Adapun kasus naik signifikan ketika memasuki Maret dan April atau setelah bencana banjir para yang melanda sembilan kabupaten/kota di Jawa Tengah. Meroketnya temuan kasus leptospirosis paling tampak di Demak, yakni pada Maret ada 14 kasus dan April ada 18 kasus temuan tanpa korban meninggal dunia. Sementara di Kota Semarang, pada Maret ada 7 kasus dengan 3 di antaranya meninggal dunia, dan April ada 3 kasus dengan 2 di antaranya meninggal dunia.
“Iya [karena banjir], kasus di Semarang dan Demak yang awal tahun rendah, kemudian naik tinggi. Penyebabnya karena kan dua daerah itu masih endemik leptospirosis ya, ditambah kemarin [Februari-Maret] sempat banjir hebat, kasusnya jadi naik pasca-banjir,” kata Kepala Bidang (Kabid) Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Dinkes Jateng, Irma Makiah kepada Solopos.com, Jumat (31/5/2024).
Irma menduga, saat banjir bandang di Kota Semarang dan Demak itu, ada urine atau darah hewan baik tikus, sapi hingga anjing yang terinfeksi virus leptospira bercampur dengan genangan banjir. Mengingat ketika banjir, banyak hewan yang keluar dari sarang atau persembunyiannya, khususnya tikus.
“Nah kebanyakan vektornya [pembawa virus] tikus, karena populasinya cukup tinggi. Jadi mungkin, saat banjir ada masyarakat yang mandi atau punya luka terbuka namun langsung bersinggungan dengan banjir. Maka potensi terpapar leptonya makin tinggi,” jelasnya.
Oleh karena itu, Irma tak menampik bila temuan kasus di Kota Semarang dan Demak masih bisa fluktuatif atau naik turun hingga pertengahan tahun nanti. Kendati demikian, saat ini pihaknya masih terus berupaya melakukan penanganan hingga deteksi dini untuk mencegah melonjaknya jumlah kasus maupun kematian akibat leptospirosis.
“Dan penanganan kita saat ini kerjasama dengan BBLKL [Balai Besar Laboratorium Kesehatan Lingkungan] untuk pengendalian vektor [hewan yang membawa virus leptospira]. Karena penanganan leptospirosis ini perlu melibatkan lintas sektor terkait, intervensi manusia atau edukasi, vektor dan lingkungan,” tutupnya. []
Nur Quratul Nabila A