BANTEN – Mantan pegawai Pos Pandeglang, Dasan Sarpono (53) didakwa melakukan tindak pidana korupsi pajak desa di Kabupaten Serang senilai Rp 336,429 juta. Hal tersebut terungkap, saat JPU Kejari Serang, Endo Prabowo membacakan surat dakwaan terhadap Dasan Sarpono di Pengadilan Tipikor Serang, Rabu siang, 3 Juli 2024.
“Perbuatan terdakwa membuat dan menyerahkan cetakan kode billing dan resi pembayaran pajak kantor pos 100 persen dari cetakkan kode billing yang dibayarkan oleh desa-desa yang pembayaran pajaknya tidak diterima oleh negara mengakibatkan kerugian keuangan negara sebesar Rp 336.429.846,” katanya.
Endo menyebut kerugian negara tersebut didapatkan dari hasil audit Inspektorat Kabupaten Serang. Kerugian negara tersebut didasarkan atas audit pajak yang tidak disetorkan pada tahun 2020 hingga 2023.
“Sesuai Surat Nomor: 700/009/Inspektorat/Pem/2024 tanggal 23 April 2024 yang dikeluarkan oleh Inspektorat Kabupaten Serang,” ujarnya.
Endo mengungkapkan, kasus dugaan korupsi tersebut berawal saat terdakwa masih bekerja sebagai pegawai Pos Pandeglang bagian persuratan. Sebelum menjalankan aksinya, terdakwa bertemu dengan Andi Sofa dan membicarakan soal pengurangan pajak desa.
“Terdakwa mengatakan, bahwa dia mampu melakukan pengurangan pajak dengan ketentuan cukup membayar 50 persen dari seharusnya yang dibayarkan (100 persen),” katanya.
Endo mengatakan, terdakwa menanyakan Andi Sofa apakah dia mempunyai kenalan kepala desa yang dapat diurus pajak APBDes-nya. Andi Sofa yang merasa punya kenalan kepala desa lantas menjawab dengan mengatakan punya kenalan.
“Kemudian Andi Sofa menelpon saksi Aep Saifullah,” ujar Endo.
Endo mengatakan, Andi Sofa pada tahun 2020 lalu sempat menghubungi Aep Saifullah yang merupakan Kepala Desa Seuat Jaya, Kecamatan Petir, Kabupaten Serang. Usai saling berkomunikasi tersebut, Andi Sofa, terdakwa dan Aep Saifullah bertemu. Lokasi pertemuan berada di rumah Aep Saifullah.
“Selanjutnya, saksi Aep Saifullah bertanya kepada terdakwa dan saksi Andri Sofa siapa yang membantu membayarkan pajak tersebut kemudian terdakwa menjawab bahwa pembayaran pajak dibantu oleh orang pajak dan orang kantor Pos untuk meringankan,” ungkapnya.
Endo mengatakan, dari pertemuan tersebut terjadi kesepakatan. Bentuk kesepakatannya yakni, pembagian uang dari 50 persen pajak desa yang tidak disetorkan. Rincian pembagiannya, terdakwa 45 persen, Andri Sofa 30 persen dan Aep Saifullah 25 persen
“Dari 50 persen besaran pajak yang tidak terbayarkan (pembagian uang fee),” katanya.
Setelah terjadi kesepakatan itu, Aep Saifullah menghubungi sejumlah perangkat desa terkait pengurangan pajak tersebut. Informasi dari Aep Saifullah tersebut menarik minat sejumlah perangkat desa untuk menggunakan jasa yang ditawarkan Aep Saifullah.
“Selanjutnya saksi Dede Sapa’at (setelah berkomunikasi dengan Aep Saifullah) menawarkan kepada saksi Maryati yang merupakan kaur keuangan Desa Mongpok untuk membayarkan pajak desa melalui saksi Dede Sapa’at dengan sistem cukup membayar 65 persen dari total kode billing pajak,” ungkapnya.
Endo menjelaskan, desa yang menggunakan jasa terdakwa tersebut yakni Kampung Baru, Mongpok, Sukarame, Sukaraja, Cilayang, Sukaratu, Junti, Parakan, Kareo dan Katulisan. Uang pajak desa tersebut diterima oleh Aep Saifullah, Dedy Ardiansyah (mantan sekretaris Desa Mekarbaru), Heru Chaerul Haqie, dan Dede Sapa’at.
“Jumlah uang yang diterima Heru Chaerul Haqie dari Desa Katulisan tahun 2020 Rp 20 juta sampai dengan Rp 30 juta, tahun 2021 Rp 20 juta sampai Rp 30 juta,” katanya dihadapan majelis hakim yang diketuai Dedy Adi Saputra.
Endo menambahkan, akibat perbuatan terdakwa tersebut, ia dijerat dengan dakwaan primer Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 UU RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor sebagaimana telah diubah dalam UU RI Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
“Subsider Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP,” tuturnya. []
Nur Quratul Nabila A